Pemangkasan anggaran negara menjadi langkah berani yang diambil pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Dengan alasan efisiensi, kebijakan ini bertujuan mengoptimalkan dana untuk program prioritas nasional, seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Namun, apakah pemangkasan besar-besaran ini benar-benar mencerminkan efisiensi, atau justru menjadi pengorbanan bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat? Kebijakan efisiensi anggaran bukan hal baru dalam pengelolaan fiskal Indonesia. Setiap pemerintahan berusaha menjaga keseimbangan antara pendapatan dan belanja negara, terutama dalam kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian. Namun, kali ini pemangkasan dilakukan dalam skala yang jauh lebih drastis, menyasar sektor esensial seperti infrastruktur, pendidikan dan layanan kesehatan.
Salah satu sektor yang paling terdampak adalah infrastruktur. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengalami pemotongan anggaran tertinggi dan terbesar dibandingan kementerian/lembaga lainnya, menyebabkan banyak proyek pembangunan tertunda atau bahkan dibatalkan. Di daerah yang masih bergantung pada investasi infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kondisi ini berpotensi memperlambat pembangunan serta memperlebar kesenjangan antarwilayah. Dampak lainnya terasa di tingkat pemerintah daerah. Dengan berkurangnya dana transfer ke daerah, banyak proyek yang sebelumnya direncanakan harus dikaji ulang atau bahkan dibatalkan. Hal ini bisa berujung pada pengurangan tenaga kerja, meningkatnya pengangguran, serta menurunnya pertumbuhan ekonomi lokal.
Kebijakan efisiensi juga menimbulkan kekhawatiran di sektor pendidikan. Beberapa universitas negeri melaporkan keterlambatan pencairan dana operasional, yang dapat mengganggu proses belajar-mengajar dan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Program beasiswa serta dana riset juga ikut terkena dampaknya (walaupun kemudian dibantah), yang dapat memengaruhi daya saing sumber daya manusia di masa depan. Mahasiswa dan akademisi mulai menyuarakan kekhawatiran mereka. Gerakan “Indonesia Gelap” menjadi bentuk protes terhadap pemangkasan anggaran yang dianggap mengancam masa depan generasi muda. Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa berujung pada menurunnya kualitas pendidikan nasional dan semakin sulitnya akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Layanan kesehatan yang mengandalkan subsidi pemerintah juga tidak luput dari dampak kebijakan ini. Beberapa rumah sakit yang bergantung pada klaim BPJS melaporkan keterlambatan pembayaran, yang berpotensi menurunkan kualitas layanan bagi masyarakat kurang mampu. Jika kondisi ini berlanjut, risiko meningkatnya angka kematian akibat keterlambatan penanganan medis bisa menjadi ancaman nyata. Sementara itu, tenaga kesehatan juga mengalami ketidakpastian akibat pengurangan anggaran, terutama di fasilitas kesehatan daerah. Pemerintah perlu memastikan bahwa pemangkasan anggaran tidak mengorbankan akses masyarakat terhadap layanan kesehatan yang layak.
Efisiensi anggaran dapat menjadi kebijakan yang positif jika dilakukan dengan perencanaan matang. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah mendorong investasi swasta melalui skema Public-Private Partnership (PPP) untuk menutupi kekurangan dana dalam pembangunan infrastruktur (apakah DANANTARA menjadi solusinya?). Selain itu, reformasi perpajakan dan optimalisasi pendapatan dari sumber daya alam bisa menjadi strategi efektif. Memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak dapat menambah penerimaan negara tanpa harus memangkas anggaran di sektor-sektor esensial. Salah satu kekhawatiran utama publik adalah apakah dana yang telah dihemat benar-benar dialokasikan secara optimal. Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran, dengan melibatkan publik dalam pengawasan penggunaan dana negara. Langkah ini dapat dilakukan melalui laporan berkala dan akses terbuka terhadap data anggaran. Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan bahwa efisiensi anggaran tidak membuka peluang bagi penyalahgunaan atau korupsi.
Efisiensi anggaran memang diperlukan untuk menjaga stabilitas fiskal negara. Namun, jika tidak direncanakan dengan cermat, kebijakan ini justru bisa menjadi pengorbanan besar bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat. Pemangkasan belanja harus dilakukan dengan memastikan bahwa sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan mitigasi bencana tetap menjadi prioritas. Selain itu, kebijakan ini harus diimbangi dengan strategi peningkatan pendapatan negara, bukan sekadar mengurangi pengeluaran. Pada akhirnya, keberhasilan efisiensi anggaran bergantung pada keseimbangan antara penghematan dan keberlanjutan pembangunan. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap rupiah yang dihemat benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat, bukan sekadar angka dalam laporan keuangan.
_1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB USU, Dosen Prodi S1 Ekonomi Pembangunan FEB USU_
_2 Ketua Prodi S2/S3 Ilmu Ekonomi FEB USU, Guru Besar FEB USU_